Tentang kematian. Kematian adalah
kesepakatan manusia dengan tuhan. Adalah janji yang tak mungkin ingkar. Janji
yang telah disepakati, mendahului kelahiran itu sendiri. Dan, ungkapan kematian
adalah ungkapan penuh kebingungan.
Gemersak suara daun jagung kering
yang saling dipertemukan angin mengiringi upacara kematian di sebuah makam
tengah persawahan Desa. Do’a dibacakan cepat oleh ustad di samping gundukan
tanah, tempat jasad dikuburkan. Dan angin semilir benar-benar menjadi kawan
upacara tersebut. Dalam barisan melingkar yang tak tertata rapi, di bagian
depan terdengar lirih tangisan. Yoga sedang menangisi kepergian Ibu yang
dicintai. Pula beberapa saudara. Kecuali Prajna, adik Yoga, yang hanya
memandang kosong. Tak sekecap suara pun keluar dari mulut kecilnya, dan tubuh
lemas seperti ranting kering di ujung pohon kamboja. Prajna hanya membayangkan
Ibunya menari pelan seperti bangau sedang berjalan menuju matahari yang hendak
tenggelam, dan kemudian menghilang bersama jatuhnya gelap.
Kehilangan ini adalah kali kedua
dalam sejarah keluarga Prajna. Sebelum Ibu meninggal, empat tahun lalu anak
paling bungsu bernama Panji yang baru berusia sembilan tahun meninggal karena
kecelakaan ketika pulang dari sekolah. Dia bersama tiga kawannya meninggal seketika
karena tertabrak oleh bus yang melaju kencang dan lepas kendali. Itu adalah
pukulan yang sangat menyakitkan bagi keluarga besar, terutama Prajna yang
sangat menyayangi Panji, adik bungsunya.
“Ini sama, Bu!” Sua Prajna dalam
hati. “yang membedakan hanyalah upacara kali ini aku tak di sampingmu.”
Ayah menggapai Prajna, dan kemudian
dia peluk erat tubuh Anak perempuan satu-satunya dalam keluarga.
“Menangislah, nak. Kau bebas untuk
menangis dalam upacara yang sedih ini.” Kata ayah kepada Prajna.
Prajna benar-benar tak tahu bagaimana
harus menyikapi kesedihan ini. Dalam hatinya hanya ada bayang-bayang tarian
ibunya. Matanya samasekali tak menunjukan hendak mengeluarkan air mata, hanya
kosong. Bahkan mulutnya pun tak bergeming seperti saudara-saudaranya. Belum ada
seucap kata pun yang keluar dari mulut semenjak kematian Ibunya. Kehilangan ini
seperti totok yang menutup pembuluh darah dan kemudian menyentak tubuh untuk
tidak boleh leluasa bergerak.
Di kebisuan suara dan ketidak
berdayaan itu, Prajna teringat kembali kenangan dengan Ibu dan Panji. Ketika
itu panji yang masih berumur dua tahun tiba-tiba menangis tanpa sebab dan minta
digendong oleh Ibu. Sementara ibu sedang dalam kerepotan menyiapkan sarapan
untuk Yoga dan Prajna yang hendak berangkat ke sekolah. Kenakalan tingkah Panji
memaksa Ibu terbopoh menggendongnya dalam kerepotan. Terpaksa Ibu harus golong
koming memasak dan menimang-nimang Panji. Namun Ibu terlihat menikmati kondisi
tersebut. Pula Panji yang tertawa lucu dengan pipi besarnya. Mereka seperti
sangat mencintai satu sama lain.
Ingatan-ingatan akan Ibu dan Panji
menyeret Prajna ke dalam nostalgia kehilangan yang besar. Namun lagi-lagi tak
juga keluar setetes airmata atau gerutu dari mulutnya.
Di aura kesedihan yang menyelimuti
upacara kematian ini, Prajna yang masih tersesat dalam nostalgia tiba-tiba
tersentak oleh pengelihatan aneh. Panji terlihat berdiri di atas makam Ibu.
Sinar matahari jelas menyinari dia dengan sangat terang. Pula seringai senyuman
lucu Panji begitu cerah. Dia terlihat benar-benar bahagia. Tak lama berselang
Ibu pun tiba-tiba datang entah dari mana, dan menghampiri Panji, mereka
bersanding. Sinar matahari dan seringai senyuman itu sama. Mereka sama terlihat
bahagia.
Prajna sadar betul bahwa itu adalah
halusinasi dan tipuan kesedihan. Tapi biarpun itu hanyalah kebohongan, Prajna
sangat bahagia karena sekali lagi bisa melihat kedua orang yang dicintai.
Kebahagiaan tersebut nyatanya mampu mengalahkan kesedihan yang menjadi momok
dalam suasana saat itu. Dan, senyum kecil muncul dari mulut Prajna. Dan, dia
lirih bersuara,
“Aku mencintaimu, Bu, Panji”.
Suara dan senyum kecil Prajna
memancing penasaran Ayah.
“Mengapa kau tersenyum, nak?” Tanya
Ayah.
“Mengapa aku harus tidak tersenyum,
yah?” Tanya balik dari Prajna.
Dan ayah semakin terheran dengan
jawaban dari Prajna. Tatapan matanya benar-benar jelas menunjukan pertanyaan
yang enggan untuk diucapkan. Prajna jelas mengetahuinya.
Kematian adalah bagian terpenting
dalam kehidupan itu sendiri. Bukan perkara yang harus diperdebatkan atas
ungkapan kematian. Karena memang tidak ada ungkapan yang pasti dalam menyikapi
kematian. Atau mungkin, kematian hanyalah tipuan alam kepada manusia-mati
hanyalah ungkapan berlebih atas kepergian.
No comments:
Post a Comment