Untuk Rivya, kekasihku
Aku selalu
memikirkan bagaimana cara menyampaikan ungkapan siksaan rindu kepadamu. Rindu
ini telah menyiksaku: Mengikat tangan dan kaki, serta membungkus rapat kepalaku
dengan kain hitam, kemudian mencincangku di ruang sempit dan pengap. Menghujani
sekujur tubuh dengan pukulan dan tendangan, serta hujatan-hujatan dari diksi cinta.
Aku benar-benar terperangkap dalam peliknya kerinduan besar ini, kasih.
Delapan
tahun lalu aku melihatmu pertama kali. Kau duduk lantang di sudut ruang kelas.
Gelagak keras tawa dan disusul senyum dengan lesung pipit itu menyeret
perhatianku. Aku seperti seorang bayi yang baru dilahirkan dan bertemu bumi, menangis
keras, bahagia karena telah hidup. Iya, aku telah merasakan kehidupan yang
indah dari senyum singkat itu, kasih. Ah, rasanya seperti baru semalam.
Dan empat tahun lalu, saat pertama
kita memulai kisah percintaan yang adalah bagian terindah dalam hidupku. Tuhan
telah meniupkan angin asmara yang besar kepadaku. Yang kemudian dengan bahagia kujunjung
dan kupikul kemanapun aku melangkah. Kita telah berkelana di jalan setapak,
menuju arah tenggelamnya matahari serta ditemani romantisnya jingga senja dan
nyanyian kawanan burung bangau.
Kita sangat menikmati menjadi diri kita
sendiri. Menjadi sepasang orang gila, benar-benar gila. Tak ada sekalipun
pertemuan kita tanpa adanya adegan kegilaan. Kita adalah sepasang kekasih dan
sepasang kawan yang sangat akrab. Kita membagi apapun. Dan kita adalah penutur
bagi segala macam riuh bahagia kehidupan.
Namun Rivya, kekasihku. Aku
benar-benar menyesalkan kejadian itu, pertengkaran besar antara kita. Nyatanya
memang waktu telah memaksa untuk kita saling bersingkur. Kita melangkah
berlawanan, dengan kemarahan yang berpihak kepadamu. Kasih, menagapa kau sangat
marah ketika itu? Tiga tahun telah kita lalui sebagai dua kubu musuh besar.
Kita saling mengeja kata-kata permusuhan tanpa ampun. Kemarahan ini seperti api
abadi yang samasekali tak mungkin bisa padam.
Rivya, kekasihku. Surat ini bukanlah
bagian dari upayaku menepuh perdamaian denganmu. Upaya-upaya semacam itu, yang
telah kulakukan berkali-kali selalu bisa kau tanggalkan, mentahkan tanpa
menghisap sedikitpun rasa. Tapi ini adalah upayaku untuk mengungkapkan
kepadamu, “Aku benar-benar merindukanmu.”
Rindu adalah perkara yang pelik.
Dia hanya menggunakan bahasa siksaan kepada si pemiliknya. Rindu tak pernah
membelaku seperti kebencian yang setia kepadamu. Dia adalah si algojo yang
kapanpun siap menikam pemiliknya dari belakang. Dia adalah perkara yang sungkar
untuk ditanggalkan.
Jadi, Rivya kekasihku. Bantu aku
untuk satu kali ini saja. Keluarkan aku dari belenggu kerinduan ini. Aku
merindukan kita.
No comments:
Post a Comment