Sunday, March 27, 2016

Surat Untukmu, Kekasihku

Untuk Rivya, kekasihku
            Aku selalu memikirkan bagaimana cara menyampaikan ungkapan siksaan rindu kepadamu. Rindu ini telah menyiksaku: Mengikat tangan dan kaki, serta membungkus rapat kepalaku dengan kain hitam, kemudian mencincangku di ruang sempit dan pengap. Menghujani sekujur tubuh dengan pukulan dan tendangan, serta hujatan-hujatan dari diksi cinta. Aku benar-benar terperangkap dalam peliknya kerinduan besar ini, kasih.
            Delapan tahun lalu aku melihatmu pertama kali. Kau duduk lantang di sudut ruang kelas. Gelagak keras tawa dan disusul senyum dengan lesung pipit itu menyeret perhatianku. Aku seperti seorang bayi yang baru dilahirkan dan bertemu bumi, menangis keras, bahagia karena telah hidup. Iya, aku telah merasakan kehidupan yang indah dari senyum singkat itu, kasih. Ah, rasanya seperti baru semalam.
Dan empat tahun lalu, saat pertama kita memulai kisah percintaan yang adalah bagian terindah dalam hidupku. Tuhan telah meniupkan angin asmara yang besar kepadaku. Yang kemudian dengan bahagia kujunjung dan kupikul kemanapun aku melangkah. Kita telah berkelana di jalan setapak, menuju arah tenggelamnya matahari serta ditemani romantisnya jingga senja dan nyanyian kawanan burung bangau.
Kita sangat menikmati menjadi diri kita sendiri. Menjadi sepasang orang gila, benar-benar gila. Tak ada sekalipun pertemuan kita tanpa adanya adegan kegilaan. Kita adalah sepasang kekasih dan sepasang kawan yang sangat akrab. Kita membagi apapun. Dan kita adalah penutur bagi segala macam riuh bahagia kehidupan.
Namun Rivya, kekasihku. Aku benar-benar menyesalkan kejadian itu, pertengkaran besar antara kita. Nyatanya memang waktu telah memaksa untuk kita saling bersingkur. Kita melangkah berlawanan, dengan kemarahan yang berpihak kepadamu. Kasih, menagapa kau sangat marah ketika itu? Tiga tahun telah kita lalui sebagai dua kubu musuh besar. Kita saling mengeja kata-kata permusuhan tanpa ampun. Kemarahan ini seperti api abadi yang samasekali tak mungkin bisa padam.
Rivya, kekasihku. Surat ini bukanlah bagian dari upayaku menepuh perdamaian denganmu. Upaya-upaya semacam itu, yang telah kulakukan berkali-kali selalu bisa kau tanggalkan, mentahkan tanpa menghisap sedikitpun rasa. Tapi ini adalah upayaku untuk mengungkapkan kepadamu, “Aku benar-benar merindukanmu.”
Rindu adalah perkara yang pelik. Dia hanya menggunakan bahasa siksaan kepada si pemiliknya. Rindu tak pernah membelaku seperti kebencian yang setia kepadamu. Dia adalah si algojo yang kapanpun siap menikam pemiliknya dari belakang. Dia adalah perkara yang sungkar untuk ditanggalkan.
Jadi, Rivya kekasihku. Bantu aku untuk satu kali ini saja. Keluarkan aku dari belenggu kerinduan ini. Aku merindukan kita.

No comments:

Post a Comment

Adsense Indonesia